Diam-diam AS Siapkan Bom Non-nuklir Terbesar dan Terburuk Buat Korut
Setelah serangan rudal ke Suriah, kini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menatap tajam Korea Utara (Korut). Sejak pertama kali menjabat, Trump dibuat emosi atas tindakan negara komunis itu berkali-kali menggelar uji coba peluncuran rudal balistik dan terus mengancam AS.
Kini, Wakil Presiden AS Mike Pence sudah menyatakan 'kesabaran' negerinya sudah habis. Dia meminta agar pemimpin Korut Kim Jong-un tidak terus memancing masalah, atau akan menghadapi respons yang keras dari negara adidaya itu.
Lupakan soal pengerahan kapal induk ke perairan Korut, yang justru berlayar ke arah yang salah atau latihan pengeboman pesawat siluman F-35 Marinir AS akhir Maret lalu. Termasuk kehadiran 29 ribu pasukan darat Amerika di Korea Selatan saat menyambut kedatangan Pence, sehari setelah uji coba rudal Pyongyang yang gagal.
Ternyata, AS justru telah lama mengembangkan senjata mematikan, terbesar dan terburuk yang bisa meluluhlantakkan Korut dalam sekejap. Senjata itu bukan 'induk dari segala bom' atau yang dikenal senjata peledakan udara besar (MOAB) seberat 11 ton yang dijatuhkan ke benteng Taliban di timur Afghanistan. Bahkan disebut-sebut lebih besar.
Sejak 1990, pemerintah AS sudah mempersiapkan melakukan penyerangan ke Korut yang melindungi secara ketat fasilitas militer mereka, khususnya untuk memperlambat atau menghambat program nuklirnya.
Rencana itu termasuk jarang-jauh, pembom siluman raksasa pengecoh-radar, dan bom penetrasi-bumi. Skema ini sudah dimulai sejak pertengahan 1990-an, saat itu Presiden Bill Clinton bersama anggota parlemen dari Partai Republik berdebar mengenai pakta baru dengan rezim Korut yang tertutup.
Rencana dikembangkan kembali pada awal 2000-an di bawah Presiden George W Bush dengan kebijakannya menggelar serangan militer pendahuluan, sama dengan keputusannya saat menyerbu Irak yang kini sudah berjalan selama 14 tahun.
Pada awal 1990-an, Korut belum memiliki tenaga nuklir apapun, namun terobsesi untuk menjadi salah satunya. Pemerintahan Clinton berencana menghabisi ambisi itu dan beberapa pejabat menyebut serangan sudah dekat, dengan risiko besarnya korban yang berjatuhan, sampai mantan Presiden Jimmy Carter melangkah masuk dan menawarkan dan menawarkan alternatif melalui langkah diplomatik.
Awal 1994, Departemen Lar Negeri AS menandatangani 'Kerangka Persetujuan' dengan Korut. Kesepakatannya sangat simpel. Pyongyang akan menunda pengembangan senjata nuklir, sebagai gantinya, Washington akan membantu negara miskin itu mendirikan reaktor nuklir yang tidak memiliki kemampuan membuat senjata.
Namun, pemerintahan Bush melabeli kerangka itu 'peredaan' dan, pada 2004, mengabaikannya. Dua tahun setelahnya, Korut memulai percobaan ledakan nuklir pertamanya.
Di bawah Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, Pentagon membentuk kebijakan permulaan. Pada November 2001, beberapa pekan setelah serangan teror 9/11, Cheney mengumumkan adanya satu persen bahwa ancaman itu nyata, "kami akan memperlakukan ancaman itu sebagai dengan cara kami meresponnya."
Doktrin satu persen Cheney ini membawa AS terlibat perang dengan Irak dengan alasan tak terbuktikan mengembangkan senjata pemusnah massal. Doktrin ini menutupi pendekatan AS terhadap Korea Utara, sebaik mungkin.
Pertengahan 2002. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld memerintahkan Pentagon untuk mengubah rencana perang terhadap Korut -OPLAN 5027- yang memberikan kewenangan melakukan serangan udara terhadap fasilitas nuklir Pyongyang. Tetapi rezim itu sudah menguburnya dalam-dalam.
Memang sejak 1960-an, Pyongyang membangun sebanyak 8.000 fasilitas bawah tanah. Di bawah Bush, angkatan bersenjata AS tidak memiliki kemampuan untuk menghancurkan fasilitas paling dalam.
Pada Perang Gurun 1991, militer telah mengebut produksi bom penghancur bunker seberat 5.000 pon, yang mampu menembus 100 kaki ke dalam tanah atau beton setebal 20 kaki. Beberapa tahun berikutnya, Pentagon mengembangkan bom khusus seberat 2.000 pon termasuk di antaranya 25 persen lebih efektif menghancurkan situs bawah tanah.
Baru beberapa dekade berikutnya, dua munisi ini menjadi senjata terbaik bagi Amerika untuk menghancurkan infrastruktur militer bawah tanah Korut. Tapi ternyata itu tidak cukup.
"Menetralisasi fasilitas bawah tanah ... adalah tugas yang luar biasa," tulis Kolonel AU Russell Hart di surat kabar pada 2012. Untuk menghancurkan seluruh fasilitas bawah tanah 'terkuat', Departemen Pertahanan menyadari akan melewati bom berbobot 10-15 ton ke dalam pintu masuk terowongan dalam meledakkan pintu dan mengirim gelombang kejut di dalam situs itu.
Namun, pemerintahan Bush menginginkan yang lebih tangkas yang disebut 'Penetrasi Nuklir Bumi Terkuat', sebuah senjata taktis nuklir yang lebih kuat dan akan merangsek jauh lebih dalam ke bawah tanah dibandingkan bom atom lainnya. Organisasi The Union of Concerned Scientists meyakini senjata ini akan menyebabkan 'penyebaran radioaktif berbahaya'.
Kongres mendukung serangan nuklir pendahuluan bagi Korut. Namun mereka menginginkan senjata non-nuklir sebagai alternatif. Pada 2004, Pentagon memulai pengembangan Penetrasi Pengeboman Besar (MOP), sebuah bom konvensional berbobot 15 ton yang didesain khusus merubuhkan fasilitas terdalam di Iran dan Korut.
MOP sudah siap diluncurkan sejak 2011. Setiap pesawat siluman B-2 dari Pangkalan Udara Whiteman Air di Missouri bisa membawa dua senjata dengan panjang 21 kaki itu. Jadi lupakan kapal induk, jet tempur siluman atau pasukan darat. Bomber siluman dengan bom tersebut, satu-satunya pilihan bagi Amerika untuk menghancurkan situs persenjataan paling terlindungi.
Abaikan pula Trump ketika dia mengancam akan mengirim armada angkatan laut ke Pyongyang. Tanpa menghormati Pence saat menginspeksi formasi pasukan di sepanjang Zona Demiliterisasi Korea. Jika AS berniat menyerang Korut, memandanglah ke Mossouri dan bomber siluman membawa bom penetrasi bawah tanah terbesar
0 comments:
Post a Comment